Melihat Penomena Masyarakat Yang Bagitu Gencarnya Dengan ISU Wahabisme, Mari kita lihat apakah itu wahabi, dan dimanakah asalnya ?
Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang
terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu
terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak
negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.
Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi
mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan
menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat
dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan
kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama
dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang
yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama
yang benar.
Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat
Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri,
terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek
syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak
mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan
mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh
arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena
jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari
tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah
tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari
kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini
masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali
negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat
dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.
Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera
tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut.
Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam
tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat,
khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim
di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik
terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta
ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau
mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd,
namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin
Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan
melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk
meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung
‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga
mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga
mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.
Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu
dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para
ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah
dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas
kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk
menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar
karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar
hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah
lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa
yang terjadi di Jazirah Arab.
Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’:
“Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan
umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja,
akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan
kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat
aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ
إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah
dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan
mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam
ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya
semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik
dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat
sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman
sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.
Dalam keadaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya
kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan
bid’ah.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
« إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا »
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap
penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini
agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)
Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.
Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)
tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah
Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak
beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur
sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan
ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan
ditopang oleh semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai
daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz,
sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana mereka
membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan
dakwah.
Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah:
“Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita
untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah,
mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian
beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan
berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum
berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.
Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah
di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi
(hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau
sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin
gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak
kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut beliau berpindah ke
‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan
bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah
mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi
dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak
mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk
sebagian di antara murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya
timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau untuk memberi tahu
pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati
Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat
di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ
terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya
berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan
mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah
kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk
menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang
pro terhadap dakwah tauhid.
No comments:
Post a Comment