Wednesday, June 25, 2014

Pemikiran Sesat Prof Musdah Tentang Perkawinan Sesama Jenis







           Minggu sebelumnya saya telah menulis biografi dari Prof Dr. Siti Musdah Mulia dan pemikiran menyimpangnya mengenai perkawinan sesama jenis. Kali ini, saya ingin menggali lagi lebih dalam mengenai pemikiran-pemikiran yang sempat dilontarkan dalam berbagai sesi wawancara Prof Musdah yang tercantum di berbagai Jurnal.

Sebenarnya, sudah sejak lama Prof Musdah memiliki pandangan tersendiri tentang homoseks dan lesbi. Pandangannya bisa disimak di Jurnal Perempuan edisi Maret 2008 yang menurunkan tentang edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Di sini, Prof Musdah mendapatkan julukan sebagai “tokoh feminis muslimah yang progresif”. Dalam wawancaranya, ia secara jelas dan gamblang menyetujui perkawinan sesama jenis. Judul wawancaranya pun sangat provokatif: “Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.
Menurut Prof Musdah, definisi perkawinan adalah “Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang yang membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak”. Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya dengan Prof Musdah, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis.
Simaklah kata-kata dia berikutnya, setelah mendefinisikan makna perkawinan menurut Al-Quran:
Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al Quran soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) disana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.
Selanjutnya, dia katakan:
Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apapun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial, dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apapun agamanya.
Prof Dr.Siti Musdah Mulia pun merasa geram dengan masyarakat yang hanya mengakui perkawinan berlainan jenis kelamin (heteroseksual). Menurutnya, agama yang hidup dimasyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia.
Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual, homoseksual, lesbian, biseksual,  dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sesama jenis. Perkawinan lawan jenis meski dipenuhi kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan. Gerutu sang Profesor yang (menurut Jurnal Perempuan) pernah dinobatkan oleh UIN Jakarta sebagai Doktor Terbaik IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997.
Kita tidak tahu, apakah yang dimaksud dengan “orientasi seksual lainnya” termasuk juga “orientasi seksual dengan binatang atau benda mati”. Yang jelas, bagi kaum lesbian, dukungan dan legalisasi perkawinan sesama jenis dari seorang Profesor dan dosen di sebuah perguruan tinggi Islam terkenal tentu sebuah dukungan yang sangat berarti.
Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Quran (Al-A’raf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath.
Para pakar syariah tentu akan geli membaca hasil ijtihad Prof Musdah ini. Ust. Hartono Ahmad Jaiz pernah menjawab,  bahwa dalam Al Quran juga tidak ada larangan secara eksplisit manusia kawin dengan anjing, tidak ada larangan kencing dalam mesjid, dan sebagainya. Apakah seperti ini cara menetapkan hukum dalam Islam? Tentu saja tidak. Para kaum liberal dalam pengambilan hukum memang sangat sesuka hatinya, alias amburadul.
Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama ia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yakni tidak menduakan Tuhan, meyakini kerasulan Muhammad s.a.w serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.
Camkanlah pendirian ibu Profesor ini, “saya yakin ini!” katanya, itulah pendiriannya. Demi kebebasan,  orang bisa berbuat apa saja, dan berpendapat apa saja. Ketika seseorang sudah merasa pintar dan berhak mengatur dirinya sendiri, akhirnya dia juga bisa berpikir: “Tuhan pun bisa di atur”. Kita pun tidak perlu merasa aneh dengan pendirian bahwa praktik perkawinan homo dan lesbi adalah halalan thayyiban baginya.
Jika sudah begitu, apa yang bisa kita perbuat? Kita hanya bisa mengelus dada, sembari mengingatkan, agar Ibu Profesor memperbaiki cara berpikirnya. Gelar Profesor tidak menjadi jaminan benar, banyak loh Profesor yang keblinger. Jika tidak paham syariat, baiknya mengakui kadar keilmuannya, dan tidak perlu memposisikan dirinya sebagai “mujtahid agung”. Pujian dan penghargaan dari Amerika tidak akan berarti sama sekali di hadapan Allah SWT. Kasihan dirinya, kasihan suaminya, kasihan manusia yang diajarnya, dan kasihan juga institusi yang menaunginya. Tapi, terutama kasihan guru-guru yang mendidiknya sejak kecil, yang berharap akan mewariskan ilmu yang bermanfaat, ilmu jariyah.
Mudah-mudahan, Ibu Profesor ini tidak ketularan watak kaum Nabi Luth, yang ketika diingatkan, justru membangkang dan malah balik mengancam. “Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir.” (Qs. Asy-Syu’ara: 165-167).

No comments:

Post a Comment