Oleh :
Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin bin Syamsuddin
Masalah rezeki merupakan salah satu perkara yang banyak menyita
perhatian manusia, sehingga ada sebagian yang menjadi budak dunia.
Bahkan lebih parah lagi, sejumlah besar umat Islam memandang bahwa
berpegang dengan ajaran Islam akan menyempitkan peluang dalam mengais
rezeki. Ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban
syariat Islam, tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapat kemudahan
di bidang materi dan kemapanan ekonomi, hendaknya menutup mata dari
sebagian aturan Islam, terutama berkenaan dengan etika bisnis dan hukum
halal haram. Padahal Sang Khalik mensyariatkan agamaNya bukan hanya
sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam perkara akhirat saja, tetapi
sekaligus menjadi pedoman sukses di dunia juga, seperti doa yang sering
dipanjatkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Wahai Rabb kami,
karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan jagalah
kami dari siksa api neraka. [Al Baqarah:201]
Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari
nafkah. Islam telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika cara
sukses mengais rezeki, membukakan pintu kemakmuran dan keberkahan.
Kegiatan usaha dalam kaca mata Islam memiliki kode etik dan aturan, jauh
dari sifat tamak dan serakah, sehingga mampu membentuk sebuah usaha
yang menjadi pondasi masyarakat madani.
PUJIAN KEPADA ORANG YANG MENCARI NAFKAH
Allah hanya menghalalkan usaha yang bersih dan mengharamkan usaha yang
kotor. Seorang muslim tidak boleh menghalalkan segala cara dalam mengais
rezeki, lantaran demi mengejar keuntungan semu yang memikat serta
menggiurkan.
Harta yang bersih dan halal sangat berpengaruh positif pada gaya hidup
dan perilaku manusia, bahkan menentukan diterimanya ibadah dan
terkabulnya doa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
(artinya) : "Wahai, manusia! Sesungguhnya Allah Maha Bersih, tidak
menerima kecuali yang bersih. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan
kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para utusanNya,
maka Allah berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang
baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al Mukminun : 51].
Dan Allah berfirman (artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, makanlah
di antara rezeki yang baik-baik, yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu
menyembah". [Al Baqarah : 172].
Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kisah
seseorang yang sedang bepergian sangat jauh, berpakaian compang-camping,
berambut kusut, mengangkat tangan ke atas langit tinggi-tinggi dan
berdoa: "Ya, Rabbi! Ya, Rabbi!” sementara makanannya haram, minumannya
haram, pakaiannya haram dan darah dagingnya tumbuh dari yang haram; maka
bagaimana terkabul doanya?[1]
Berlomba secara sehat dalam mengais rezeki tidak tercela, asalkan dengan
menempuh cara yang benar dan usaha yang halal. Bahkan beribadah sambil
berusaha pun diperbolehkan, Allah berfirman (artinya) : "Tidak ada dosa
bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu. Maka
apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah kepada Allah di
Masy'aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana
yang ditunjukkanNya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu
benar-benar termasuk orang -orang yang sesat". [Al Baqarah : 198].
Abu Umar Ibnu Abdul Bar berkata: “Setiap harta yang tidak menopang
ibadah kepada Allah, dan dikonsumsi untuk kepentingan maksiat serta
mendatangkan murka Allah, tidak dimanfaatkan untuk menunaikan hak Allah
dan kewajiban agama, maka harta tersebut tercela. Adapun harta yang
diperoleh lewat usaha yang benar sementara hak-hak harta ditunaikan
secara sempurna, dibelanjakan di jalan kebaikan untuk meraih ridha
Allah, maka harta tersebut sangat terpuji". [2]
Allah berfirman (artinya) : "Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu
sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. " [Al A’raaf:10].
Ibnu Katsir berkata: "Allah mengingatkan kepada seluruh umat manusia
tentang karuniaNya (yang) berupa kehidupan yang mapan di muka bumi,
dilengkapi dengan gunung-gunung yang terpancang kokoh, sungai-sungai
yang mengalir indah, dan tanah yang siap didirikan tempat tinggal dan
rumah hunian, serta Allah menurunkan air hujan berasal dari awan. Dan
Allah juga memudahkan kepada mereka untuk mengais rezeki dan membuka
peluang maisyah (penghidupan) dengan berbagai macam usaha, bisnis dan
niaga; namun sedikit sekali mereka yang mau bersyukur".[3]
Allah berfirman. (artinya) : "Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." [Al Jumu’ah : 10].
Tentang makna firman Allah "maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah” Imam Al Qurthubi menjelaskan : “Apabila kalian
telah menunaikan shalat Jum’at, maka bertebaranlah kamu di muka bumi
untuk berdagang, berusaha dan memenuhi berbagai kebutuhan hidupmu". [4]
Nabi juga pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas: "Sesungguhnya
bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, (itu)
lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan menjadi
beban orang lain".[5]
Dari Ayyub, bahwa Abu Qilabah berkata: "Dunia tidak akan merusakmu
selagi kamu masih tetap bersyukur kepada Allah,” maka Ayyub berkata
bahwa Abu Qilabah berkata kepadaku: “Wahai, Ayyub! Perhatikan urusan
pasarmu dengan baik, karena hidup berkecukupan termasuk bagian dari
sehat wal afiat".[6]
Yusuf bin Asbath berkata, bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata kepadaku: “Aku
meninggalkan harta kekayaan sepuluh ribu dirham yang nanti dihisab oleh
Allah, lebih aku cintai daripada aku hidup meminta-minta dan menjadi
beban orang lain.[7]
Beberapa atsar (riwayat) dari para ulama mulia di atas, menepis anggapan
bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan
tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap
kezuhudan. Padahal tidaklah demikian. Abu Darda' berkata: “Termasuk
tanda kefahaman seseorang terhadap agamanya, adanya kemauan untuk
mengurusi nafkah rumah tangganya”.[8]
ISLAM MENCELA PEMALAS DAN PEMINTA-MINTA
Islam sangat mencela pemalas dan membatasi ruang gerak peminta-minta
serta mengunci rapat semua bentuk ketergantungan hidup dengan orang
lain. Sebaliknya, Al Qur'an sangat memuji orang yang bersabar dan
menahan diri tidak meminta uluran tangan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidup, karena tindakan tersebut akan menimbulkan berbagai
macam keburukan dan kemunduran dalam kehidupan. Allah berfirman
(artinya) : "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang
tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui. [Al Baqarah : 273].
Imam Ibnul Jauzi berkata: “Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja,
melainkan berada dalam dua keburukan. Pertama, menelantarkan keluarga
dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal, sehingga hidupnya
menjadi batu sandungan buat orang lain dan keluarganya berada dalam
kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa,
kecuali kepada orang yang hina dan gelandangan. Sebab, orang yang
bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan
dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan. Boleh jadi
seseorang tidak memiliki harta, tetapi masih tetap punya peluang dan
kesempatan untuk berusaha”.[9]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi jaminan surga bagi
orang yang mampu memelihara diri tidak meminta-minta. Dari Tsauban, (ia)
berkata bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَكَفَّلَ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ
بِالْجَنَّةِ َفَقُلْتُ أَنَا فَكَانَ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا
"Barangsiapa yang bisa menjaminku untuk tidak meminta-minta suatu
kebutuhan apapun kepada seseorang, maka aku akan menjamin dengan surga.
Aku berkata: “Saya.” ِMaka ia selama hidupnya tidak pernah meminta-minta
kepada seseorang suatu kebutuhan apapun". [10]
Seorang muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan,
semangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan
rajin bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri,
tidak menjadi beban orang lain. Sebab, pemalas yang menjadi beban orang
dan pengemis yang menjual harga diri, merupakan manusia paling tercela
dan sangat dibenci Islam. Ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah
Ibnu Umar, bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
"Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara
kalian, kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada
secuil daging pun". [11]
Agama Islam mengajak umatnya agar bersikap mandiri dalam hidup.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan doa agar kita
berlindung dari sifat malas, lemah, tidak berdaya, pengecut, bakhil dan
menjadi beban orang lain.
عَنْ أَنَس ابنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ الله يَقُوْلُ فِي دُعَائِهِ :
اَلَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبُنِ
وَالْبُخْلِ وَاْلَهَرَمِ وَالْقَسْوَةِ وَاْلغَفْلَةِ وَالْعَيْلَةِ
وَالذِّلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ وَأُعُوْذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ
وَالْفُسُوْقِ وَالشَّقَاقِ وَالنِّفَاقِ وَالسُّمْعَةِ وَالرِّيَاءِ
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الصَّمَمِ وَالْـبَكَمِ وَالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ
وَالْبَرَصِ وَسَيئِّ اْلَأسْقَامِ .
"Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah selalu membaca dalam
doanya: “Ya, Allah! Aku berlindung diri kepadaMu dari tidak berdaya,
malas, pengecut, bakhil, lanjut usia, kekerasan hidup, lalai, melarat,
kehinaan, dan kerendahan. Aku berlindung kepadaMu dari kemiskinan,
kekufuran, kefasikan, kesesatan, kemunafikan, sum'ah dan riya'. Dan aku
berlindung kepadaMu dari penyakit tuli, bisu, penyakit kusta, penyakit
kulit dan seluruh penyakit yang buruk”.[12]
Sikap malas, hidup yang hanya menjadi beban orang lain dan meminta-minta
merupakan perbuatan yang sangat dibenci Islam. Oleh karena itu, seorang
muslim harus rajin bekerja dan bersungguh-sungguh berusaha.
Meninggalkan anak cucu dalam kondisi berkecukupan lebih baik dari pada
mereka hidup terlunta-lunta menjadi beban orang lain, seperti disebutkan
dalam firman Allah. (artinya) : "Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar". [An Nisaa’:9].
Imam Al Baghawi berkata, bahwa yang dimaksud dengan “dzurriyatan
dhiafan” adalah anak-anak yang masih kecil, yang dikhawatirkan tertimpa
kefakiran.[13]
Ali bin Abu Thalhah berkata, bahwa Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Ayat di
atas turun untuk seseorang saat menjelang ajalnya berwasiat yang
merugikan ahli warisnya. Maka Allah menganjurkan kepada orang yang
mendengar wasiat tersebut agar bertakwa kepada Allah dan mengarahkan
kepada wasiat yang benar dan lurus. Dan hendaknya orang tersebut
prihatin terhadap kondisi ahli warisnya, jangan sampai mereka terlantar
dan menjadi beban orang lain sepeninggalnya”.[14]
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, ketika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqas. Saad
bertanya: “Wahai, Rasulullah! Saya orang yang banyak harta, sementara
saya tidak punya ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Bolehkah
saya berwasiat dengan dua pertiga hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan!”
Sa’ad bertanya,”Dengan setengah hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan!”
Sa’ad bertanya,”Dengan sepertiga hartaku?” Beliau bersabda,”Boleh dengan
sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak,” Kemudian Rasulullah
bersabda,”Sesungguhnya, bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan berkecukupan lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam
kekurangan, menjadi beban orang lain. Dan sungguh tidaklah kamu memberi
nafkah, kecuali menjadi sedekah buatmu hingga satu suapan yang kamu
berikan kepada isterimu.” [15]
Berusaha dengan sungguh-sungguh sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
: Bekerjalah terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mintalah
pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika sesuatu terjadi pada
kamu, maka jangan katakan “seandainya aku melakukan hal ini dan itu,
pazti begini”. Namun katakan “Allah telah menetapkan dan apa yang telah
Dia kehendaki, maka Dia kerjakan”. Karena, kata “seandainya” itu adalah
peluang setan. [HR Muslim]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
"Seandainya ada seseorang di antara kalian mencari seonggok kayu bakar
lalu dipanggul (ke pasar untuk dijual), lebih baik daripada meminta
kepada seseorang, terkadang diberi dan terkadang tidak".[16]
Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata: “Wahai ahli qira’ah.
Berlombalah dalam kebaikan, dan carilah karunia dan rezeki Allah, dan
janganlah kalian menjadi beban hidup orang lain”.[17]
Said bin Musayyib berkata: “Barangsiapa berdiam di masjid dan
meninggalkan pekerjaan, lalu menerima pemberian yang datang kepadanya,
maka (ia) termasuk mengharap sesuatu dengan cara meminta-minta”.[18]
Abu Qasim Al Khatli bertanya kepada Imam Ahmad: “Apa pendapat anda
terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid, lalu
berkata ‘aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan
pasti datang’?” Maka beliau menjawab: “Orang tersebut bodoh terhadap
ilmu. Apakah (ia) tidak mendengarkan sabda Rasulullah : "Allah
menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad)' "[19]
Sahl bin Abdullah At Tustari berkata,”Barangsiapa yang merusak tawakkal,
berarti telah merusak pilar keimanan. Dan barangsiapa yang merusak
pekerjaan, berarti telah membuat kerusakan dalam Sunnah.”[20]
BEKERJA DALAM PANDANGAN ULAMA SALAF
Ada sebagian orang menyangka, bahwa sikap tawakkal menafikan berbagai
macam bentuk usaha dan ikhtiar. Padahal, hukum bekerja terkadang wajib,
sunah, mubah, makruh ataupun haram, tergantung pada hakikat dan tujuan
pekerjaan tersebut.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah manusia yang paling
bertawakkal, namun Beliau tetap bekerja; baik dengan pergi ke medan
perang maupun berniaga di pasar untuk mencari nafkah, hingga orang-orang
kafir berkomentar sebagaimana firman Allah (artinya): Dan mereka
berkata: "Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.
Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu
memberikan peringatan bersama-sama dengan dia". [Al Furqan : 7].[21]
Usaha yang menentukan tegaknya pondasi kehidupan manusia, hukumnya
fardhu 'ain. Sedangkan usaha yang menentukan kehidupan secara kolektif,
hukumnya fardhu kifayah. Sehingga, seluruh bentuk aktifitas untuk
mendirikan perusahaan dan perindustrian yang menjadi penopang sendi
ekonomi umat secara kolektif, hukumnya fardhu kifayah.[22]
Usaha dalam Islam dibatasi dengan dua perkara; ikhlas dan ittiba'
(mengikuti Rasulullah). Maka usaha yang dilakukan oleh seorang muslim
hanya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan dilakukan secara
benar sesuai dengan Sunnah Rasulullah. Oleh sebab itu, kebenaran sebuah
usaha tentu saja dilihat dari kesesuaian usaha tersebut dengan syariat.
Allah tidak akan memberikan pahala pada satu amalan, kecuali ditujukan
untuk mengharap ridhaNya.
Sikap zuhud dan tawakal kepada Allah tidak berkonotasi sebuah aksi
pengangguran dan penyandaran nasib hidup kepada orang lain. Sebab,
segala bentuk ketergantungan kepada selain Allah bisa merusak aqidah dan
akhlak, serta merupakan kebiasaan yang tercela. Tidak ada satu dalil
pun yang mengajak umat manusia meninggalkan usaha mencari rezeki dan
ikhtiar dengan alasan zuhud dan tawakkal.
Allah tidak melarang hambaNya untuk berusaha, bahkan Allah mencintai
segala bentuk usaha asal sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Tidak
ada alasan untuk mencela jalur-jalur usaha yang halal, tetapi yang
tercela adalah usaha yang haram, atau melalaikan ibadah kepada Allah
sebagaimana firman Allah (artinya): "Laki-laki yang tidak dilalaikan
oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah".
[An Nur :37].
Imam Ibnul Jauzi berkata,”Sebagian orang salah dalam memahami tawakkal.
Mereka menyangka, malas bekerja dan berpangku tangan sebagai bentuk
tawakkal. Padahal, tawakkal merupakan perbuatan hati yang tidak
menafikan gerakan tubuh untuk berusaha. Jika seorang yang rajin bekerja
dianggap tidak bertawakkal, maka para nabi termasuk orang-orang yang
tidak bertawakkal. Sementara Nabi Adam bertani, Nabi Nuh dan Zakaria
bertukang, Nabi Sulaiman pembuat anyaman dari daun kurma, Nabi Daud
pembuat baju perang, Nabi Musa, Syuaib dan Nabi Muhammad penggembala
kambing.” [23]
SIKAP SEIMBANG DALAM MENCARI NAFKAH DAN MENUNTUT ILMU
Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk beribadah. Sementara itu,
ibadah tidak akan terealisasi kecuali dengan badan yang sehat. Dan badan
sehat diperoleh dari makan yang cukup. Maka Allah menjadikan makanan
sebagai pelengkap ibadah.[24]
Abu Hamid Al Ghazali berkata,”Semua hamba Allah dituntut bertemu dengan
Rabb-nya dengan membawa pahala. Dan tidak mungkin semua itu tercapai,
kecuali dengan ilmu dan amal. Adapun dua pilar dasar, yaitu ilmu dan
amal, tidak mungkin terwujud kecuali dengan badan sehat. Dan makanan
sebagai sarana utama meraih badan sehat; maka Allah berfirman.(artinya) :
"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah
amal yang shalih. Sesungguhnya, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan."[Al Mukminun:51].[25]
Ilmu dan amal, dalam pandangan Ahli Sunnah merupakan satu rangkaian yang
tidak dapat dipisahkan. Bila dua pilar tersebut telah mengakar dalam
pribadi seorang muslim, maka akan terpancarlah hidayah dan ketakwaan
sebagai pondasi dasar dan bekal utama meretas usaha dan profesi,
sehingga Allah menjadikan ketakwaan sebagai ladang keberkahan dan pintu
kesuksesan dalam berbagai bentuk usaha. Menjadi kunci penyelesaian bagi
seluruh problem kehidupan, sebagaimana firman Allah
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan
jalan keluar baginya dan memberinya rezki dari arah yang tidak
disangka-sangka". [Ath Thalaq : 2-3].
Di dalam tafsirnya, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkanNya dan
meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan memberikan
kepadanya jalan keluar dari seluruh problem kehidupan dan memberi rezki
dari arah yang tidak di sangka-sangka. Yakni, dari arah yang tidak
pernah terlintas dalam benaknya.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Bertakwalah kepada
Allah dan ambillah yang baik dalam mencari rezeki (ambil yang halal dan
tinggalkan yang haram)”. [HR Al Hakim].
Seorang muslim yang bertakwa sangat dituntut untuk berlaku seimbang
dalam mencari ilmu dan mencari nafkah. Jika kekuatan ilmu dan kekuatan
harta bersinergi secara baik, maka akan melahirkan sebuah kekuatan
dahsyat dan pengaruh yang positif dalam proses dakwah dan kebangkitan
umat. Dengan begitu, segala kemunduran dan kehinaan yang menimpa umat
mampu teratasi.
Menurut pandangan Ahli Sunnah wal Jama’ah, tidak ada dikotomi antara
mencari ilmu dengan mencari nafkah, bahkan keduanya harus saling
mendukung. Oleh sebab itu, tidak benar bila berkembang wacana bahwa
orang yang mencari ilmu tidak perlu memikirkan urusan maisyah (mata
pencaharian/pekerjaan), dan sebaliknya, orang yang mencari nafkah tidak
perlu mengganggu profesinya dengan menuntut ilmu agar tidak merusak
kariernya. Hal itu sebuah paradigma yang keliru dan anggapan yang
menyesatkan, sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. (artinya) : "Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain),
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan." [Al Qashash:77].
Ayat yang mulia di atas memiliki makna, pergunakanlah harta kekayaanmu
dan kenikmatanmu yang melimpah, yang telah diberikan kepadamu sebagai
pemberian dan karunia Allah untuk menunaikan ketaatan dan kebaikan yang
bisa mendekatkan dirimu kepadaNya. Dan janganlah kamu melupakan bagianmu
dari kenikmatan dunia, baik berupa makanan, minuman, pakaian, tempat
tinggal dan hubungan biologis, karena Rabb-mu memiliki hak atasmu dan
dirimu memiliki hak atasmu. Keluargamu mempunyai hak atasmu, dan
kekuatan tubuhmu juga memiliki hak atasmu. Maka, berikanlah
masing-masing hak sesuai dengan porsinya.[27]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim dalam Kitab Zakat; At Tirmizdi, Ad Darimi dan Ahmad dalam Musnad-nya.
[2]. Jami'ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdul Bar, Juz 2, hlm. 26.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hlm. 282.
[4]. Tafsir Al Qurthubi, Juz 9, hlm. 71. Dan lihat Tafsir Al Baghawi, Juz 8, hlm. 123.
[5]. HR Bukhari (2742), Muslim (1628), Tirmidzi (2116), Nasai dan Ibnu Majah.
[6]. Diriwayatkan Abu Nuaim dalam Al Hilyah (2/286) dan Abu Hamid Al Ghazali dalam Ihya' (2/62).
[7]. Jami'ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdil Barr, Juz 2, hlm. 33.
[8]. Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 223; Ibnu Abi Syaibah (34606) dan Al Baihaqi dalam Asy Syuab (2/365).
[9]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 303.
[10]. HR Abu Daud. Imam Nawawi berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang sahih.
[11]. HR Bukhari, Muslim, dan Nasai dalam Sunan-nya.
[12]. HR Al Hakim dalam Mustadrak, dan beliau berkata: “Hadits ini
shahih menurut syarat Imam Bukhari dan Muslim (1944) ,dan Ibnu Hibban
dalam Shahih-nya (1019)”.
[13]. Tafsir Maalimut Tanzil, Al Baghawi, Juz 2, hlm. 170. Lihat juga tafsir Al Qurthubi, Juz 4, hlm. 35.
[14]. Tafsir Ath Thabari, Juz 4, hlm. 181.
[15]. HR Bukhari (2742), Muslim (1628), At Tirmidzi (2116), An Nasai dan Ibnu Majah.
[16]. Muttafaqun ‘alaih.
[17]. Jami'ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdul Bar, Juz 2, hlm. 35.
[18]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 300.
[19]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 302.
[20]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[21]. Tahdzib Syarah Thahawiyah, hlm. 301.
[22]. Mala Yasa’ut Tajir Jahluhu, Prof. Dr. Abdullah Muslih. hlm. 78.
[23]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[24]. Ahkamul Ath'imah Fisyariatil Islamiyah, Dr. Abdullah bin Muhammad Ath Thuraiqi, hlm. 30.
[25]. Lihat Ihya Ulumuddin, Juz 2/3 dengan tahqiq Al Allamah Zainuddin Al Iraqi.
[26]. Tafsir Ibnu Katsir (4/400).
[27]. Lihat Tafsir Ath Thabari (20/71), Tafsir Al Baghawi (6 / 221) dan Tafsir Ibnu Katsir (5 / 129).