Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mendiskreditkan para
wanita yang begitu ringkih dan lemah. Apa lagi sampai menuduh mereka
makhluk yang menjadi sumber petaka, jahat dan keji. Tidak sama sekali…
Akan tetapi penulis hanya ingin berkongsi ilmu serta
mengingatkan, bahwa di balik kelemahan wanita tersimpan potensi yang
sangat luar biasa untuk menggoda serta membinasakan laki-laki yang kuat
perkasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada para
wanita di zaman beliau,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرجل الحازم من إحداكن
“Aku tidak melihat ada manusia yang kurang akal dan agamanya, namun mampu meluluhkan nalar lelaki perkasa selain kalian”
Seandainya pun Anda tidak memiliki kecantikan, kedudukan,
dan kesempatan seperti apa yang dimiliki Zulaikha, akan tetapi Anda
harus tahu barangkali tidak ada lelaki saat ini yang mampu menahan
fitnah wanita seperti Yusuf.
Jika demikian halnya, hendaklah setiap wanita berusaha
menjaga diri. Jangan sampai ia menyebabkan para lelaki berpaling dari
Allah atau menyebabkan mereka bermaksiat kepada Allah. Baik itu
suaminya, orang tuanya, saudaranya, ataupun orang lain.
Sungguh maha adil Allah, ketika Allah memberikan kesempatan
sebesar-besarnya kepada para wanita untuk menjadi fitnah terbesar di
dunia, Allah juga memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada mereka
untuk menjadi perhiasan termahal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
الدنيا متاع، وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim: 1467)
Kisah Fitnah Dalam Sejarah
Sebagai penutup, berikut kita simak beberapa kisah klasik yang sempat mengubah sejarah akibat fitnah wanita. Di
antaranya adalah kisah nabi Adam dan Hawa yang sudah tidak asing bagi
kita. Ketika Iblis merasa putus asa lantaran tidak bisa menggoda Adam
Kisah Shalih sang muazin[6]. Dikisahkan ada seorang pemuda
bernama Shalih sang Muazin. Suatu ketika saat ia menaiki menara untuk
mengumandangkan azan, ia melihat seorang gadis nasrani yang rumahnya
berada di sisi masjid.
Ternyata peristiwa itu membuat sang pemuda jatuh hati dan terfitnah. Ia pun mendatangi rumahnya dan mengetuk pintunya.
“Siapa?” Tanya sang gadis.
“Saya Shalih tukang adzan.”
Sang gadis pun membukakan pintu untuknya. Tatkala sudah masuk ke dalam rumah, sang pemuda berusaha memeluknya.
“Apa-apaan ini..! Kalian ini orang yang diberi amanat..!” teriak sang gadis mengingatkan.
“Kau ingin saya bunuh atau melayani keinginanku?” jawab pemuda.
“Saya tidak sudi. Saya tidak mau melayanimu kecuali jika kamu meninggalkan agamamu..!”
Pemuda tersebut mengatakan, “Aku telah berlepas diri dari agamaku dan dari ajaran Muhammad.”
Sang pemuda semakin mendekat. Sang pemuda mulai tersungkur
bertekuk lutut dalam pelukan jerat-jerat asmara. Saat itulah sang gadis
menyuruhnya untuk memakan daging babi dan menengguk minuman keras. Sang
pemuda menurut bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Ketika sang pemuda
sedang dalam keadaan mabuk berat, ia disuruh untuk naik loteng. Akhirnya
sang pemuda jatuh dan mati dalam keadaan kafir. Wal’iyyadzubillah.
Ibnul Jauzi mengatakan, “Waspadalah..! –semoga Allah
merahmatimu- jangan sampai engkau berani menantang sumber fitnah, sebab
orang yang mendekatinya akan jauh dari keselamatan. Jika waspada darinya
identik dengan keselamatan, sebaliknya menantangnya identik kebinasaan.
Sangat jarang orang yang mendekati fitnah mampu selamat dari
jeratnya.”[7]
Daftar Pustaka:
- Ibnul Jauzi, Abdur Rahman. (2002). Dzammul Hawa. Libanon: Darul kutub Al ‘Arabiy
- Al Bukhari, Muhammad. (1998). Shahih Al Bukhari. Riyadh, KSA: Baitul Afkar Ad Dauliyah
- Muslim. (2001). Shahih Muslim. Riyadh, KSA: Maktabatur Rusyd
- Ibnu Rajab, Abdur Rahman. (2008). Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam. Beirut; Dar Ibnu Katsir
- As Sa’di, Abdurrahman. (2007). Taisir Karimir Rahman. Riyadh, KSA: Maktabatur Rusyd
[1] Lihat penjelasan selengkapnya dalam tafsir As Sa’di, hal. 123-124
[2] Dzammul Hawa, hal. 180
[3] ibid
[4] ibid, hal. 179
[5] Lihat penjelasan ini dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 440
[6] Dzammul Hawa, hal. 409
[7] Dzammul Hawa, hal. 168
No comments:
Post a Comment